Nama : Abdul Rosyid
Nim : 2104023
MK :Sosiologi
BIROKRASI
Blau dan Meyer mengatakan, bahwa birokrasi adalah jenis organisasi yang dirancang untuk menangani tugas-tugas administratif dalam skala besar serta mengkoordinasikan pekerjaan orang banyak secara sistematis. Sedangkan menurut kamus bahasa indonesia yang disusun oleh W.J.S Poerdarminta, mendefinisikan birokrasi ke dalam tiga pengertian, yaitu : pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai bayaran yang tidak dipilih oleh rakyat ; cara pemerintah yang sangat dikuasai oleh pegawai negri ; dan cara bekerja atau susunan pekerjaan yang serba lambat, menurut aturan( adat, dan sebagainya), banyak liku-likunya.
Menurut Weber, birokrasi mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
1. Para anggota staf secara pribadi bebas, hanya menjalankan tugas-tugas impersonal mereka.
2. Ada hirarki jabatan yang jelas.
3. Fungsi-fungsi jabatan ditentukan secara tegas.
4. Para pejabat diangkat berdasarkan suatu kontrak.
5. Mereka dipilih berdasarkan kualifikasi profesional, idealnya didasarkan suatu diploma (ijazah) yang diperoleh melalui suatu ujian.
6. Mereka mempunyai gaji dan biasanya juga ada hak-hak pensiun. Gaji berjenjang menurut kedudukan dalam hirarki. Pejabat dapat selalu menempati posnya, dan dalam keadaan-keadaan tertentu ia juga dapat diberhentikan.
7. Pos jabatan adalah lapangan kerjanya sendiri atau lapangan kerja pokoknya.
8. Terdapat suatu struktur karir, dan promosi dimungkinkan berdasarkan senioritas maupun keahlian (merit) dan menurut pertimbangan keunggulan (superioritas).
9. Jabatan mungkin tidak sesuai baik dengan posnya maupun dengan sumber-sumber yang tersedia di pos tersebut.
10. Ia tunduk pada sistem disipliner dan kontrol yang seragam.
Terhadap ciri-ciri birokrasi Max Weber diatas, adapula kalangan yang memberi interpretasi lebih sederhana. Seperti halnya dilakukan Manuel Kasiepo yang memberi penafsiran atas birokrasi Weber tersebut dengan ciri-ciri yang lebih sederhana yaitu; ( 1). Terikat konstitusi dan aturan hukum, (2). Netral, dan (3). Politik (Manuel Kasiepo, 1987: 23).
Dalam pandangan Weber, elemen-elemen yang terpisah diatas terikat bersama ke dalam satu totalitas yang koheren oleh suatu fenomena, yaitu rasionalitas. Analisis Weber tentang rasionalitas birokrasi itu setidaknya memuat dua hal yang agak berbeda. Pada satu sisi, rasionalitas birokrasi mengindikasikan efisiensi teknis yang maksimal. Aturan-aturan yang menetapkan cara-cara pencapaian tujuan organisasi didasarkan pada pengetahuan teknis yang up- to-date, dan mengarahkan perilaku anggotanya menurut garis yang paling efisien. Pada sisi lain, birokrasi adalah suatu sistem kontrol sosial atau kekuasaan yang diterima oleh para anggotanya karena melihat aturan yang rasional, adil, dan menyatu- suatu sistem nilai ’rasional-legal’. Namun bagi Weber, kualitas terbesar dari birokrasi adalah kemampuan predictability-nya.
Pernyataan Weber diatas merupakan analisisnya tentang birokrasi secara makro. Pada tataran mikro, belum tentu apa yang disampaikan oleh Weber diatas dapat ditemui secara kenyataan. Penelitian-penelitian modern menunjukkan bahwa banyak birokrasi organisasi yang tidak berjalan efisien sebagaimana dari Weber tersebut. R.K. Merton (1957) misalnya, ber argumentasi bahwa birokrasi menjadi tidak fleksibel justru karena strukturnya sendiri yang tidak mampu mengantisipasi konsekuensinya. Dalam kenyataannya banyak anggota hanya melaksanakan aturan-aturan secara ritualistic dan menjadikan cara pelaksanaan itu sebagai tujuan dari pada tujuan-tujuan yang sebenarnya. Ini khusus terjadi pada birokrat pemerintahan. Bisa jadi mereka melakukan ini karena mereka takut menyalahi aturan-aturan yang telah ditetapkan. Selain itu sangat sering tugas untuk menyelenggarakan organisasi besar menimbulkan problem-problem anggaran, personnel, dan administratif. Perilaku birokrasi sehari-hari lebih berikut pada isu-isu internal dari pada pencapaian tujuan aslinya. Dengan kata lain, anggota atau pegawai sering terjebak pada pentingnya melaksanakan prosedur yang telah ditetapkan daripada pencapaian tujuan itu sendiri.
Demikian pula garis komando sering menyebabkan kekuasaan dan tanggung jawab yang sudah terdefinisi sering menyebabkan bawahan cenderung mengikuti pimpinan terlepas apakah pimpinan itu salah atau benar. Merton (1968) menyatakan bahwa rutinitas yang kaku dan tekanan untuk tunduk dapat menghilangkan kreatifitan dan daya imaginasi. Namun argumen Merton yang kontroversial ini dibantah oleh penelitian belakangan yang menunjukkan bahwa orang-orang yang ada dalam lingkaran birokrasi cenderung memiliki pikiran yang terbuka, dapat mengatur diri sendiri, dan mau menerima perubahan (Kohn, 1971, 1978).
Spesialisasi pekerjaan dalam susunan hirarki birokrasi juga sering menciptakan pandangan yang sempit sehingga anggota atau pegawai tidak mampu memecahkan persoalan-persoalan baru. Harus diakui bahwa birokrasi menjadi efisien karena aturan-aturannya didesain untuk menangani perkara-perkara tertentu. Birokrat dapat menangani perkara-perkara tertentu tersebut karena aturan dan prosedur telah nyata. Namun birokrat akan mengalami kesulitan untuk menangani perkara-perkara baru atau tidak biasa. Jika ini terjadi, masalah hanya akan berputar dari satu meja ke meja yang lain yang dapat memakan waktu ber bulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun. Inovasi menjadi berkurang. Orang takut mengambil inisiatif karena resiko kemungkinan salah ( yang berarti tidak mengikuti aturan). Juga secara psikologis, orang-orang yang tergabung dalam suatu departemen akan mengembangkan sikap loyal satu terhadap lainnya, dan akan membawa suara departemen manakala mereka memiliki kesempatan (blind adherence).
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah susunan hirarki. Dilihat dari strukturnya, secara esensial birokrasi bersifat otoriter (authoritarian structure). Dalam teori, komunikasi itu terjadi secara dua arah (atas-bawah dan sebaliknya). Namun dalam praktek, komunikasi birokrasi terjadi hampir selalu dari atas ke bawah . dalam kasus ini maka yang terjadi adalah perintah. Dalam susunan seperti itulah terdapat suatu ketidakadilan hirarkis, siapa memerintah dan siapa diperintah. Siapa mendapat fasilitas dan siapa tidak.
Weber sendiri mengakui bahwa tipe ideal yang dia ajukan sebenarnya adalah bentuk penyederhanaan dan sekaligus berlebihan dalam pandangan bukti empiris. Kelemahan-kelemahan seperti diungkapkan oleh Merton diatas, juga diperkirakan oleh Weber sampai dia mengatakan bahwa birokrasi adalah the iron cage memagari manusia dengan dunia yang sempit, tetapi merupakan satu keharusan. Lebih jauh dia mengatakan bahwa :
The passion for bureaucracy is enough to drive one to dipair…the great question is… not how we can promote an hasten it, but what we can oppose to this machinery in order to keep a portion of mankind free from this parceling out of the soul, from this supreme mastery of the bureaucratic way of life.
Namun disisi lain, dalam dunia yang semakin kompleks dan besar, tidak mungkin segala hal diatur secara personal dan langsung. Aturan main yang rasional, impersonal, indirect mutlak perlu, yakni birokrasi. Dalam kenyataan, tidak ada satupun administrasi pemerintah yang birokratis persis seperti definisinya. Karena itu, contoh-contoh kongkrit akan menunjukkan kurang atau lebih dari elemen-elemen yang ditunjukkan oleh Weber diatas. Kekurangan ini juga berlaku untuk birokrasi kekuasaan di indonesia. Oleh karena itu, berharap bahwa birokrasi kekuasaan indonesia dapat memenuhi persis apa yang diidealkan oleh Weber adalah tidak realistis.
Berdasarkan perbedaan tugas pokok atau misi yang mendasari suatu organisasi birokrasi, Syukur Abdullah (Ahmad Setiawan, 1998: 145), menguraikan tiga kategori birokrasi, sebagai berikut :
1. Birokrasi pemerintah umum, yaitu rangkaian organisasi pemerintahan yang menjalankan tugas-tugas pemerintahan umum termasuk memelihara ketertiban dan keamanan, dari tingkat pusat sampai daerah (propinsi, kabupaten, kecamatan, dan desa). Tugas-tugas tersebut lebih bersifat mengatur.
2. Birokrasi pembangunan, yaitu organisasi pemerintah yang menjalankan salah satu bidang atau sektor yang khusus guna mencapai tujuan pembangunan, seperti pertanian, kesehatan, pendidikan, industri. Fungsi pokoknya adalah development function atau adaptive function.
3. Birokrasi pelayanan, yaitu unit organisasi yang pada hakekatnya merupakan bagian yang langsung berhubungan dengan masyarakat. Yang termasuk dalam kategori ini, antara lain: rumah sakit, sekolah( SD-SLTA), koperasi, bank rakyat desa, transmigrasi, dan berbagai unit organisasi lainnya yang memberikan pelayanan langsung kepada masyarakat atas nama pemerintah. Fungsi utamanya adalah service.
Disk fungsi demokrasi
1. Tidak bisa menangani secara efisien terhadap kasus-kasus yang tidak lazim
2. Orang-orang yang duduk dalam demokrasi cenderung mengutamakan prosedur.
3. Penempatan yang bukan pada tempatnya.
4. Struktur yang otoriter.
5. Perbesaran demokrasi.
6. Oligarchy (keputusan hanya diambil beberapa orang saja).
Ada tiga model kognitif birokrasi yang sering digunakan untuk menganalisis karakteristik birokrasi di indonesia:
1. Model kognitif yang bersumber pada birokrasi tradisional di dalam kerangka otoritas tradisional.
2. Model kognitif kedua diperkenalkan oleh penguasa kolonial dalam bentuk abte naar ( pangreh praja) dan beamtenstaat untuk menguasai tanah jajahannya.
3. Model kognitif ketiga adalah model birokrasi sebagai tipe ideal yang dikonsepsualisasikan Max Weber.
Nim : 2104023
MK :Sosiologi
BIROKRASI
Blau dan Meyer mengatakan, bahwa birokrasi adalah jenis organisasi yang dirancang untuk menangani tugas-tugas administratif dalam skala besar serta mengkoordinasikan pekerjaan orang banyak secara sistematis. Sedangkan menurut kamus bahasa indonesia yang disusun oleh W.J.S Poerdarminta, mendefinisikan birokrasi ke dalam tiga pengertian, yaitu : pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai bayaran yang tidak dipilih oleh rakyat ; cara pemerintah yang sangat dikuasai oleh pegawai negri ; dan cara bekerja atau susunan pekerjaan yang serba lambat, menurut aturan( adat, dan sebagainya), banyak liku-likunya.
Menurut Weber, birokrasi mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
1. Para anggota staf secara pribadi bebas, hanya menjalankan tugas-tugas impersonal mereka.
2. Ada hirarki jabatan yang jelas.
3. Fungsi-fungsi jabatan ditentukan secara tegas.
4. Para pejabat diangkat berdasarkan suatu kontrak.
5. Mereka dipilih berdasarkan kualifikasi profesional, idealnya didasarkan suatu diploma (ijazah) yang diperoleh melalui suatu ujian.
6. Mereka mempunyai gaji dan biasanya juga ada hak-hak pensiun. Gaji berjenjang menurut kedudukan dalam hirarki. Pejabat dapat selalu menempati posnya, dan dalam keadaan-keadaan tertentu ia juga dapat diberhentikan.
7. Pos jabatan adalah lapangan kerjanya sendiri atau lapangan kerja pokoknya.
8. Terdapat suatu struktur karir, dan promosi dimungkinkan berdasarkan senioritas maupun keahlian (merit) dan menurut pertimbangan keunggulan (superioritas).
9. Jabatan mungkin tidak sesuai baik dengan posnya maupun dengan sumber-sumber yang tersedia di pos tersebut.
10. Ia tunduk pada sistem disipliner dan kontrol yang seragam.
Terhadap ciri-ciri birokrasi Max Weber diatas, adapula kalangan yang memberi interpretasi lebih sederhana. Seperti halnya dilakukan Manuel Kasiepo yang memberi penafsiran atas birokrasi Weber tersebut dengan ciri-ciri yang lebih sederhana yaitu; ( 1). Terikat konstitusi dan aturan hukum, (2). Netral, dan (3). Politik (Manuel Kasiepo, 1987: 23).
Dalam pandangan Weber, elemen-elemen yang terpisah diatas terikat bersama ke dalam satu totalitas yang koheren oleh suatu fenomena, yaitu rasionalitas. Analisis Weber tentang rasionalitas birokrasi itu setidaknya memuat dua hal yang agak berbeda. Pada satu sisi, rasionalitas birokrasi mengindikasikan efisiensi teknis yang maksimal. Aturan-aturan yang menetapkan cara-cara pencapaian tujuan organisasi didasarkan pada pengetahuan teknis yang up- to-date, dan mengarahkan perilaku anggotanya menurut garis yang paling efisien. Pada sisi lain, birokrasi adalah suatu sistem kontrol sosial atau kekuasaan yang diterima oleh para anggotanya karena melihat aturan yang rasional, adil, dan menyatu- suatu sistem nilai ’rasional-legal’. Namun bagi Weber, kualitas terbesar dari birokrasi adalah kemampuan predictability-nya.
Pernyataan Weber diatas merupakan analisisnya tentang birokrasi secara makro. Pada tataran mikro, belum tentu apa yang disampaikan oleh Weber diatas dapat ditemui secara kenyataan. Penelitian-penelitian modern menunjukkan bahwa banyak birokrasi organisasi yang tidak berjalan efisien sebagaimana dari Weber tersebut. R.K. Merton (1957) misalnya, ber argumentasi bahwa birokrasi menjadi tidak fleksibel justru karena strukturnya sendiri yang tidak mampu mengantisipasi konsekuensinya. Dalam kenyataannya banyak anggota hanya melaksanakan aturan-aturan secara ritualistic dan menjadikan cara pelaksanaan itu sebagai tujuan dari pada tujuan-tujuan yang sebenarnya. Ini khusus terjadi pada birokrat pemerintahan. Bisa jadi mereka melakukan ini karena mereka takut menyalahi aturan-aturan yang telah ditetapkan. Selain itu sangat sering tugas untuk menyelenggarakan organisasi besar menimbulkan problem-problem anggaran, personnel, dan administratif. Perilaku birokrasi sehari-hari lebih berikut pada isu-isu internal dari pada pencapaian tujuan aslinya. Dengan kata lain, anggota atau pegawai sering terjebak pada pentingnya melaksanakan prosedur yang telah ditetapkan daripada pencapaian tujuan itu sendiri.
Demikian pula garis komando sering menyebabkan kekuasaan dan tanggung jawab yang sudah terdefinisi sering menyebabkan bawahan cenderung mengikuti pimpinan terlepas apakah pimpinan itu salah atau benar. Merton (1968) menyatakan bahwa rutinitas yang kaku dan tekanan untuk tunduk dapat menghilangkan kreatifitan dan daya imaginasi. Namun argumen Merton yang kontroversial ini dibantah oleh penelitian belakangan yang menunjukkan bahwa orang-orang yang ada dalam lingkaran birokrasi cenderung memiliki pikiran yang terbuka, dapat mengatur diri sendiri, dan mau menerima perubahan (Kohn, 1971, 1978).
Spesialisasi pekerjaan dalam susunan hirarki birokrasi juga sering menciptakan pandangan yang sempit sehingga anggota atau pegawai tidak mampu memecahkan persoalan-persoalan baru. Harus diakui bahwa birokrasi menjadi efisien karena aturan-aturannya didesain untuk menangani perkara-perkara tertentu. Birokrat dapat menangani perkara-perkara tertentu tersebut karena aturan dan prosedur telah nyata. Namun birokrat akan mengalami kesulitan untuk menangani perkara-perkara baru atau tidak biasa. Jika ini terjadi, masalah hanya akan berputar dari satu meja ke meja yang lain yang dapat memakan waktu ber bulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun. Inovasi menjadi berkurang. Orang takut mengambil inisiatif karena resiko kemungkinan salah ( yang berarti tidak mengikuti aturan). Juga secara psikologis, orang-orang yang tergabung dalam suatu departemen akan mengembangkan sikap loyal satu terhadap lainnya, dan akan membawa suara departemen manakala mereka memiliki kesempatan (blind adherence).
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah susunan hirarki. Dilihat dari strukturnya, secara esensial birokrasi bersifat otoriter (authoritarian structure). Dalam teori, komunikasi itu terjadi secara dua arah (atas-bawah dan sebaliknya). Namun dalam praktek, komunikasi birokrasi terjadi hampir selalu dari atas ke bawah . dalam kasus ini maka yang terjadi adalah perintah. Dalam susunan seperti itulah terdapat suatu ketidakadilan hirarkis, siapa memerintah dan siapa diperintah. Siapa mendapat fasilitas dan siapa tidak.
Weber sendiri mengakui bahwa tipe ideal yang dia ajukan sebenarnya adalah bentuk penyederhanaan dan sekaligus berlebihan dalam pandangan bukti empiris. Kelemahan-kelemahan seperti diungkapkan oleh Merton diatas, juga diperkirakan oleh Weber sampai dia mengatakan bahwa birokrasi adalah the iron cage memagari manusia dengan dunia yang sempit, tetapi merupakan satu keharusan. Lebih jauh dia mengatakan bahwa :
The passion for bureaucracy is enough to drive one to dipair…the great question is… not how we can promote an hasten it, but what we can oppose to this machinery in order to keep a portion of mankind free from this parceling out of the soul, from this supreme mastery of the bureaucratic way of life.
Namun disisi lain, dalam dunia yang semakin kompleks dan besar, tidak mungkin segala hal diatur secara personal dan langsung. Aturan main yang rasional, impersonal, indirect mutlak perlu, yakni birokrasi. Dalam kenyataan, tidak ada satupun administrasi pemerintah yang birokratis persis seperti definisinya. Karena itu, contoh-contoh kongkrit akan menunjukkan kurang atau lebih dari elemen-elemen yang ditunjukkan oleh Weber diatas. Kekurangan ini juga berlaku untuk birokrasi kekuasaan di indonesia. Oleh karena itu, berharap bahwa birokrasi kekuasaan indonesia dapat memenuhi persis apa yang diidealkan oleh Weber adalah tidak realistis.
Berdasarkan perbedaan tugas pokok atau misi yang mendasari suatu organisasi birokrasi, Syukur Abdullah (Ahmad Setiawan, 1998: 145), menguraikan tiga kategori birokrasi, sebagai berikut :
1. Birokrasi pemerintah umum, yaitu rangkaian organisasi pemerintahan yang menjalankan tugas-tugas pemerintahan umum termasuk memelihara ketertiban dan keamanan, dari tingkat pusat sampai daerah (propinsi, kabupaten, kecamatan, dan desa). Tugas-tugas tersebut lebih bersifat mengatur.
2. Birokrasi pembangunan, yaitu organisasi pemerintah yang menjalankan salah satu bidang atau sektor yang khusus guna mencapai tujuan pembangunan, seperti pertanian, kesehatan, pendidikan, industri. Fungsi pokoknya adalah development function atau adaptive function.
3. Birokrasi pelayanan, yaitu unit organisasi yang pada hakekatnya merupakan bagian yang langsung berhubungan dengan masyarakat. Yang termasuk dalam kategori ini, antara lain: rumah sakit, sekolah( SD-SLTA), koperasi, bank rakyat desa, transmigrasi, dan berbagai unit organisasi lainnya yang memberikan pelayanan langsung kepada masyarakat atas nama pemerintah. Fungsi utamanya adalah service.
Disk fungsi demokrasi
1. Tidak bisa menangani secara efisien terhadap kasus-kasus yang tidak lazim
2. Orang-orang yang duduk dalam demokrasi cenderung mengutamakan prosedur.
3. Penempatan yang bukan pada tempatnya.
4. Struktur yang otoriter.
5. Perbesaran demokrasi.
6. Oligarchy (keputusan hanya diambil beberapa orang saja).
Ada tiga model kognitif birokrasi yang sering digunakan untuk menganalisis karakteristik birokrasi di indonesia:
1. Model kognitif yang bersumber pada birokrasi tradisional di dalam kerangka otoritas tradisional.
2. Model kognitif kedua diperkenalkan oleh penguasa kolonial dalam bentuk abte naar ( pangreh praja) dan beamtenstaat untuk menguasai tanah jajahannya.
3. Model kognitif ketiga adalah model birokrasi sebagai tipe ideal yang dikonsepsualisasikan Max Weber.
0 Komentar untuk "BIROKRASI"